Pendidikan Seks Anak Usia Dini?? Why not

Seks Edukasi dan Golden Age

Sedikit berbagi tentang ilmu yang tak seberapa. Semalam, setelah mengambil mata kuliah psikologi abnormal, dosenku yang notabene-nya adalah psikolog klinis anak, mengajak kami berdiskusi tentang peran vital orang tua dalam pembentukan jati diri sampai sikap patologis anak di masa depan.

Aku sedikit begidik atau lebih tepatnya ngeri (yaelah bukan sedikit, ya, kalau udah ngeri itu :D ) oke, back to the topic. Kami berbicara tentang fase-fase perkembangan anak di lima tahun pertama. Aku baru tahu, ternyata setiap episode perkembangan itu memiliki dampak negatif jika tidak terpenuhi dengan baik.

Saat itu pun, diskusi terus bergulir sampai pada satu celetukan dari teman sekelas, "lah kalau pedofil itu gimana ngatasinya, bu? Toh, kadang orang tua juga tidak selalu bisa mengawasi anak-anaknya dengan intens. Apalagi kalau sudah masuk usia sekolah." (Akhirnya, ada juga bahan untuk dibagi di kelas parenting---dan itu yang langsung ada dalam pikiranku. Hihihi #abaikan curhatan ini)

Dosenku mulai menjelaskan bahwa dalam masa falik--sebuah masa dimana proses pengenalan gender--anak akan mulai sering bertanya tentang berbagai hal terutama soal dirinya. Seperti contoh, kalau anaknya cewek akan mulai bertanya kenapa aku harus pakek rok, kenapa dia pakek celana, kenapa dia kalau pipis boleh berdiri, kenapa aku malah disuruh jongkok, atau kenapa kenapa lainnya.

Fase ini berkisar di antara 4-6 tahun. Terlalu kecilkah??? Oh, tentu saja tidak. Pada fase inilah perlu sekali diajarkan tentang pendidikan seks. Karena anak sudah mulai berpikir kenapa banyak perbedaan dirinya dengan anak lain. Edukasi seks tidak melulu menjurus pada hal-hal yang berbau pornografi. Kita bisa mulai dari pengenalan gender, ada perbedaan diri si anak dengan anak lain, ada bagian vital yang tidak boleh disentuh sembarang orang, atau bahkan menasehati untuk tidak mempermainkan bagian tersebut.

Saat ini, anak sudah wajib diajarkan tentang bagaimana peran dirinya. Semisal, ketika anak perempuan duduk sembarangan, kita harus segera menegurnya. Bagaimana caranya? Yang jelas tidak boleh ada bentakan atau teriakan atau dengan nada tinggi karena hal ini akan segera direkam oleh anak-anak. Mungkin saja, kita bisa memperingatkannya seperti ini, "Loh, anak perempuan kok duduknya seperti itu. Ayo, duduk yang manis." atau seumpama si anak masih rewel, kita bisa kasih reward untuk si anak.

"Lalu, untuk mencegah perilaku pedofil, gimana tuh?" Dosenku mulai melempar pertanyaan untuk diskusi kami. Sesaat hening sebentar. Kasak-kusuk pun terdengar tapi ternyata tak satupun dari kami yang angkat bicara.

"Tadi kan sudah sempat saya singgung, agar orang tua mengajari anak untuk menjaga bagian vitalnya. Bilang pada mereka, jangan boleh ada seseorang yang menyentuhnya apalagi mempermainkannya kecuali dirinya atau ibunya. Bilang, itu penting. Pahamkan pada mereka bahwa semua orang pasti juga memilikinya dan harus menjaganya. Begitu juga dengan cara berpakaian.

Pun ketika hendak jalan-jalan bersama si kecil, pakaikan baju yang sewajarnya saja. Memang, sih, bila ada anak memakai baju yang serba 'kurang kain' itu akan terlihat lucu. Namun, tidak untuk orang-orang yang memiliki kelainan seksual. Apa salahnya sedia payung sebelum hujan?" lanjutnya, "Dan kalian tahu, bila pada fase ini gagal, kemungkinan paling buruk adalah anak bisa bertukar gender atau lebih dikenal dengan transgender."

Akhirnya, kami menemukan pada satu kesimpulan bersama bahwa kesempatan tidak akan pernah datang dua kali, seperti itulah fase perkembangan anak. So, jangan pernah sia-siakan waktu itu. Dan tepat pukul sembilan malam, diskusi kami berakhir.

Sekian. Semoga sedikit celoteh ini bermanfaat.

Jalan-jalan ke Banyuwangi?? Jangan lupa ke sini.

Travelingmu, Red Island Banyuwangi. Pantai dengan ombak yang bersahabat.

Menghabiskan liburan bareng temen-temen itu sesuatu yang menyenangkan. Seenggaknya kamu gak bakalan bete' sendirian di dalam kamar. :D apalagi nangis bombay gegara baru putus cinta #abaikan.

Memang sih, telat ngepost jalan-jalan ini. Hanya saja, berbagi cerita tentang indahnya menikmati alam, boleh kan?

Oke, lanjut. Transportasi dari Surabaya menuju Banyuwangi tak akan menguras dompetmu, kok. Kereta api ekonomi ac sudah bisa di dapat dengan harga Rp 68.000,- saja sedangkan untuk karcis bus ada banyak alternatif. Kamu bisa memilih dua jalur perjalanan. Suka yang estafet atau lansung tujuan. :D

Saat itu pilihan kami adalah estafet. Why did we choose this option?

Menggunakan bus estafet memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Salah satu pertimbangan yang kami jadikan adalah, jika kita menggunakan bus langsung tujuan banyuwangi maka arah perjalanan akan melewati daerah Ketapang. Dan kalian tahu, jika kita bepergian ke arah timur (banyuwangi lanjut bali dan seterusnya) maka kita akan terjebak di kemacetan yang lumayan bikin bislag, mobillag atau byclelag , alih-alih dari jetlag :D. Dan lagi, kita bakalan mati bosan dalam traffic jam itu. Oleh karena itu, kita memilih estafet untuk mempersingkat waktu.

Kita memilih menggunakan bus arah Banyuwangi dengan merogoh kocek Rp 18.000,-/orang dengan tujuan terminal Probolinggo. Kemudian, kita pindah bus untuk pergi ke arah Jember. Ongkosnya pun cukup murah hanya dengan dua puluh ribu rupiah saja. Setelah itu, kita turun di terminal Tawang Alun, Jember. Lalu, berestafetlah kita mencari bus arah Banyuwangi dengan karcis sekitar dua puluh lima ribu. Dengan begini, kita bisa menghemat banyak waktu. Selain itu, kalau dipikir, dikaji dan dihitung ulang (jiaaah, bahasaku) ongkos naik kereta dengan ongkos naik bus tak beda jauh, kok. Total ongkos perjalanan kita sekitar Rp 63.000,-/ orang. Cukup murah kan? :D

Pasti bakal ada yang nanya, kalo bus langsung Banyuwangi kenak berapa?

Oke, aku jelaskan. Bus langsung bisa mematok harga Rp 80.000,- sampai Rp 90.000,-  per orang. Lagian, dengan estafet seperti ini kita akan melihat keindahan alam yang disajikan saat kita melewati gunung Gumitir. :D walaupun sedikit merinding, sih, karena kanan gunung kiri udah jurang :D

Perjalanan menuju Pulau Merah, kita menggunakan sepeda motor sewaan. :D . Pulau Merah ini terletak di Pantai Desa Sumber Agung, Pesanggaran, Banyuwangi. Tiket masuk pun tergolong cukup murah,  hanya sepuluh ribu rupiah saja. 

Ada yang aneh dari nama pantai ini. Apa yang membuat orang-orang sekitar atau masyarakat mengenal pantai ini dengan Pulau Merah, apa karena banyak tumbuhan berwarna merah, atau pasirnya yang berwarna merah? Itu satu pertanyaan yang ada dibenakku saat sampai di pantai ini.

Ternyata menurut sejarah, pantai yang dulunya bernama pantai Ringin pitu ini memiliki dua versi cerita. Yang pertama, karena warna pasir yang kemerahan dari pulau yang setinggi dua ratus meter tersebut. Dan yang versi kedua, konon katanya, sekeitar 100 meter dari pantai di hadapan Pulau Merah  tersebut pernah ada cahaya merah yang memancar. Makanya, kemudian masyarakat menyebutnya Pulau Merah.

Pemandangan pantai benar-benar memikat setiap orang. Dengan di kelilingi pepohonan hijau, pegunungan dan udara yang sejuk membuat para wisatawan seperti kita bisa melupakan waktu. Bebatuan karang yang tak terlalu tajam juga terlihat di sisi sebelah kiri pantai. Ini membuat kita ingin mencoba menjelajahinya.

Dalam suasana tertentu, pantai ini memiliki ombak yang cukup menawan hati setiap pemain surfing. Para pencinta olahraga ini pun tak perlu membawa papan selancar dari rumah karena sudah disediakan di sana. Perkiraan persewaan papan selancar tersebut berkisar antara 25 ribu sampai 50 ribu. Tak ayal lagi, Pulau Merah ini dianggap sebagai kuta-nya orang Jawa.

So, tunggu apalagi? Kalian tak akan kecewa jika mau sejenak berkunjung ke sana bila kalian berada di Banyuwangi. Karena ini destinasi wisata wajib untuk setiap orang yang sedang berlibur di ujung pulau Jawa. :D


Balon, Sampaikan Sama Allah

=Balon, Sampaikan Sama Allah=

Senyum merekah tersungging dari seorang anak kecil. Bahagia nian dia melangkah bersama sang ibu. Minggu pagi yang cerah, mereka habiskan untuk mengikuti jalan sehat bank Jatim. Kupon telah dia pegang erat.
Pemanggilan pemenang kupon segera berlangsung. Untuk Satu ponsel samsung.

“Untuk… pemenang satu buah ponsel samsung, oke siap siap kuponnya semua…,” ucap pembawa acara lantang. Membuat pemuda kecil itu kian menatap lekat digit digit yang tertera pada kertas kupon.

“Jatuh pada nomor… 2 0 1 0 2 0 1 4, sekali lagi… 20102014.” Suara pembawa acara menggema di lapangan.

“Bun… ini Bunda, Aat yang dapat,” ucapnya tidak percaya. Segera saja sang ibu meraih kupon tersebut dari Aat. Mencoba meneliti ulang. Benar, Aat yang dapat. Alhamdulillah… kau beruntung, Nak, batin sang ibu.
Lalu bergegaslah sang ibu menuju pentas bersama Aat untuk menerima hadiah tersebut.
Setelah turun podium, “Bunda… Aat mau beli balon gas.”

Tanpa pikir panjang, sang ibu mengantarkan Aat membeli balon tersebut.
“Bunda… Aat boleh minta kertas?” tanyanya lagi sembari memegang balon gas hijau.

“Buat apa, Nak?” selidik sang ibu.
Dia hanya tersenyum menimpali pertanyaan sang ibu. Lalu wanita itu memungut kertas bekas yang ada di jalanan dan menyerahkannya.

“Aat mau nulis ini, Bunda.” Sang bunda pun melihat apa yang ingin ia tulis.
Allah, makasih, ya. Aat udah diberi hape.

Kemudian Aat kecil mengikatnya pada balon dan menerbangkannya.

“Sampaikan sama Allah, ya balon. Aat seneng…,” teriak pemuda kecil itu lantang.
Ah… Aat, sungguh! Kau anugerah terindah dari Allah, Nak, gumam sang ibu lirih lalu memeluk erat.


Kondangan Pertama


Ini pertama kali aku kondangan ke gedung. Aih, pasti mewah. Apalagi ini pernikahan anak pimpinan perusahaan tempatku bekerja—termasuk ibu dan bapakku yang jadi pembantu di rumahnya. Tapi tunggu, aku harus pakai baju yang mana?
“Ayo, cepat! Bapak sudah ditunggu bosmu buat jaga di luar gedung,” perintah bapak setelah mendapatiku termangu memandangi lemari.
“Udah, pakai itu aja!” Bapak menunjuk gamis sifon yang tergantung di luar lemari. Lalu berlalu meninggalkan kamarku.  Aku amat sejenak. Ehm… ide bapak bagus juga. Segera kuraih gamis itu. Menyetrika dan menyiapkan wedges lamaku. Ah, ini satu-satunya wedges yang kupunya, ucapku dalam hati sambil membersihkan dari debu-debu. Tiba-tiba petir menyambar. Hujan pun kian deras. Loh! Gimana berangkatnya? Batinku.

Akhirnya mau tidak mau kami—aku dan bapak—harus menerobos hujan. Meski sudah sedikit reda, namun percikan banjir di jalanan membuat wedges dan gamisku basah. Maklumlah kendaraan yang kami bawa adalah sepeda motor matic. Bukan taksi apalagi mobil. Ah, itu terlalu mewah.

 Sesampainya di pelataran gedung, aku ternganga. Wow! Gedung ini luas sekali, ucapku kagum. Karena adzan maghrib berkumandang, kami—aku dan bapak yang setengah basah—segera menuju musala. Setidaknya aku bisa mengeringkan gamisku sebelum masuk ke dalam, batinku. Sembari berjalan ke musala, kulihat jam di telepon genggam. Astaga! Masih jam enam, undangan untuk orang kantor kan jam delapan malam. Lalu aku harus ke mana? Ibu pasti jaga si adik bayi Mbak Manda—kakak mempelai laki-laki, sedangkan bapak jaga pintu masuk, gerutuku sendiri.

Dengan sedikit terpaksa setelah sholat selesai, aku mengikuti bapak menjaga pintu masuk. Berdiri beriringan di sebelah bunga-bunga. Sungguh! Ini hari yang sangat sial. Gamis bagian bawah basah, undangan ternyata jam delapan dan sekarang harus ikut menjaga pintu masuk. Dan tak sulit bagiku untuk menemui ibu karena ia berada di ruang khusus keluarga pengantin. 

Jam pun mulai beranjak mendekati angka delapan. Aku mulai sedikit nyaman karena ternyata ada beberapa teman kantor yang telah datang meski semuanya laki-laki. Setidaknya ada yang mengusir suasana bosan.
“Eh! Itu loh orang-orang kantor sudah datang.” Pak Arik—salah satu teman kantor—menunjuk pintu yang dilalui beberapa orang. Ah… akhirnya, mereka datang juga, ucapku lega. Seperti ada beban berat yang terangkat seketika itu juga.

“Ya, udah Pak Arik. Makasih ya. Saya ke sana dulu,” pamitku padanya. Ia membalas dengan sebuah anggukan.

Beberapa langkah kemudian, tiba-tiba kakiku ringan. Seperti tak ada alas kaki yang aku kenakan. Ini kenapa lagi sih? Aku pun menundukkan kepala ingin mengetahui apa yang terjadi. “Astaga…!” pekikku pelan, “wedges-ku solnya lepas.”

Benar-benar kondangan yang hancur. Mau tidak mau untuk menutupi malu, aku menyeret langkah mendekati salah satu penjaga pintu. Segera setelah mendapat jawaban dari petugas penjaga pintu lainnya, aku menuju ruang keluarga mempelai laki-laki. 

“Ibu…,” panggilku sambil membuka pintu ruangan itu. Terlihat tiga orang dan salah satunya ibuku. 

“Kenapa?”

“Wedges-ku lepas solnya. Ibu bawa sandal?” tanyaku memelas.

“Ya gak bawa. Cuma sandal plastik ini yang ibu pakai. Mau pakai ini?”

Ah… sial lagi, sial lagi. Kenapa hari ini begitu sial, sih? gerutuku dalam hati. Dengan berat hati aku pun menggunakannya lalu berkumpul dengan teman kantor yang lain.

Halo Dini

Ini adalah blogmu, selamat menulis ;)